Suku Baduy adalah salah
satu suku asli Banten, tepatnya di kaki pegunungan Kendeng di Desa Kanekes, Kecamatan
Leuwidamar, Kabupaten Lebak, yaitu sekitar 40 km dari kota Rangkasbitung.
Wilayah suku Baduy
terdiri dari dua daerah, yaitu suku Baduy Dalam, yang tinggal di kampung Cibeo,
Cikartawana, dan Cikeusik, dan suku Baduy Luar, yang tinggal di berbagai
kampung yang tersebar mengelilingi Baduy Dalam seperti Cikadu, Kaduketuk,
Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya.
1.
Suku
Baduy Dalam
Suku Baduy Dalam
merupakan suku Baduy yang benar-benar masih menjaga pikukuhnya, terletak di
hutan pedalaman dan belum mengenal budaya luar. Mereka sangat taat
mempertahankan adat istiadat dan warisan nenek moyangnya. Pakaian suku Baduy
Dalam berwarna putih alami dan tidak menggunakan kancing atau kerah, dengan
ikat kepala berwarna putih serta membawa golok. Semua yang dipakai oleh suku
Baduy Dalam adalah hasil produksi mereka sendiri, yang dibuat oleh para
perempuan. Jika bepergian, mereka tidak menggunakan kendaraan dan tidak memakai
alas kaki.
Selain itu, suku
Baduy Dalam juga tidak mengenal perkakas seperti palu, paku, gergaji, dan
lain-lain. Untuk membuat rumah, mereka menggunakan alat-alat dan bahan-bahan
tradisional yang diambil dari hutan dan dikerjakan dengan gotong royong.
Suku Baduy Dalam
tidak mengenal baca tulis, mereka hanya mengenal aksara sunda. Anak-anak suku
Baduy Dalam juga tidak bersekolah, kegiatan mereka hanya di sawah dan di kebun.
Menurut mereka, itu adalah cara melestarikan adat leluhurnya.
Sungai menjadi
sumber kehidupan sehari-hari mereka dari mulai mandi, mencuci, semuanya
dilakukan di sungai.
Karena belum
mengenal budaya luar dan masih memiliki budaya yang sangat asli, suku Baduy
Dalam tidak mengizinkan orang luar tinggal bersama mereka. Mereka bahkan
menolak Warga Negara Asing (WNA) untuk masuk.
2.
Suku
Baduy Luar
Suku Baduy Luar merupakan
suku Baduy yang telah keluar dari adat dan wilayah Baduy Dalam. Mereka telah
mengenal teknologi, seperti peralatan elektronik, meskipun penggunaannya tetap
merupakan larangan untuk masyarakat Baduy, termasuk Baduy Luar. Selain itu, proses
pembangunan rumah penduduk Baduy Luar sudah menggunakan alat-alat perkakas
seperti palu, paku, gergaji, dan lain-lain yang dilarang oleh adat Baduy Dalam.
Suku Baduy Luar
menggunakan pakaian dan ikat kepala berwarna hitam, itu menandakan bahwa mereka
tidak suci. Kadang-kadang mereka menggunakan pakaian modern seperti kaos oblong
dan celana jeans.
Bahasa yang digunakan
oleh suku Baduy adalah Bahasa Sunda. Untuk berkomunikasi dengan penduduk luar,
mereka bisa menggunakan Bahasa Indonesia walaupun mereka tidak mendapatkan
pengetahuan tersebut dari sekolah.
Kepercayaan mereka
disebut sebagai Sunda Wiwitan, berakar dari pemujaan kepada arwah nenek moyang
(animisme) yang kemudian dipengaruhi oleh agama Budha, Hindu, dan Islam. Inti
kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat
mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari. Isi terpenting dari ‘pikukuh’
(kepatuhan) tersebut adalah konsep “tanpa perubahan apapun” atau “perubahan
sesedikit mungkin”.
Di bidang pertanian,
bentuk pikukuh tersebut adalah dengan tidak mengubah kontur lahan bagi ladang,
sehingga cara berladangnya sangat sederhana, tidak mengolah lahan dengan bajak,
tidak membuat terasering, hanya menanam dengan tugal (bambu yang diruncingkan).
Pada pembangunan rumah juga kontur permukaan tanah dibiarkan apa adanya,
sehingga tiang penyangga rumah seringkali tidak sama panjang. Perkataan dan
tindakan mereka jujur, polos, tanpa basa-basi, bahkan dalam berdagang pun
mereka tidak melakukan tawar-menawar.
Objek kepercayaan
terpenting adalah Arca Domas, yang lokasinya dirahasiakan dan dianggap paling
sakral. Mereka mengunjungi lokasi tersebut untuk melakukan pemujaan setahun
sekali. Hanya puun yang merupakan ketua adat tertinggi dan beberapa anggota
masyarakat terpilih saja yang mengikuti rombongan pemujaan tersebut. Di komplek
Arca Domas tersebut terdapat batu lumpang yang menyimpan air hujan. Apabila
pada saat pemujaan ditemukan batu lumpang tersebut ada dalam keadaan penuh air
yang jernih, maka itu merupakan pertanda bahwa hujan pada tahun tersebut akan
banyak turun, dan panen akan berhasil baik. Tetapi apabila batu lumpang
tersebut kering atau berair keruh, maka itu merupakan pertanda kegagalan panen.
Masyarakat Baduy
mengenal dua sistem pemerintahan, yaitu sistem nasional, yang mengikuti aturan
Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan sistem adat yang mengikuti adat
istiadat yang dipercaya masyarakat. Kedua sistem tersebut digabung sehingga
tidak terjadi perbenturan. Secara nasional, masyarakat Baduy dipimpin oleh
kepala desa yang disebut sebagai jaro pamarentah.
Pemimpin adat tertinggi
dalam masyarakat Baduy adalah “puun”. Jabatan tersebut berlangsung
turun-temurun, namun tidak otomatis dari bapak ke anak, melainkan dapat juga
kerabat lainnya. Jangka waktu jabatan puun tidak ditentukan, hanya berdasarkan
pada kemampuan seseorang memegang jabatan tersebut.
Mata pencaharian utama
masyarakat Baduy adalah bertani padi huma. Selain itu, mereka juga mendapatkan
penghasilan tambahan dari menjual buah-buahan yang mereka dapatkan di hutan
seperti durian dan asam keranji, serta madu hutan.
Sebagai tanda
kepatuhan/pengakuan kepada penguasa, masyarakat Baduy secara rutin melaksanakan
seba ke Kesultanan Banten, berupa menghantar hasil bumi (padi, palawija,
buah-buahan) kepada Gubernur Banten. Sampai sekarang, upacara seba tersebut
terus dilangsungkan setahun sekali melalui bupati Kabupaten Lebak. Di bidang
pertanian, penduduk Baduy Luar berinteraksi erat dengan masyarakat luar,
misalnya dalam sewa menyewa tanah, dan tenaga buruh.
Pada saat pekerjaan di
ladang tidak terlalu banyak, orang Baduy juga senang berkelana ke kota besar
sekitar wilayah mereka dengan syarat harus berjalan kaki. Pada umumnya mereka
pergi dalam rombongan kecil yang terdiri dari 3 sampai 5 orang, berkunjung ke
rumah kenalan yang pernah datang ke Baduy sambil menjual madu dan hasil
kerajinan tangan.
Referensi:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar