Rabu, 07 Januari 2015

Sultan Ageng Tirtayasa

Sultan Ageng Tirtayasa (1631-1683) adalah pahlawan yang berasal dari provinsi Banten. Ia adalah putera Sultan Abdul Ma’ali Ahmad dan Ratu Martakusuma yang menjadi Sultan Banten pada periode 1640-1650. Ketika kecil, ia diberi gelar Pangeran Surya. Ketika ayahnya meninggal, ia diangkat menjadi Sultan Muda dan diberi gelar Pangeran Ratu atau Pangeran Dipati. Setelah kakeknya meninggal, ia diangkat sebagai sultan dengan gelar Sultan Abdul Fathi Abdul Fattah. Sedangkan nama Sultan Ageng Tirtayasa berasal ketika ia mendirikan keraton baru di dusun Tirtayasa.
Perjuangannya dimulai ketika orang-orang Belanda hadir di Nusantara, termasuk di Banten untuk berdagang. Mereka menawarkan beras untuk ditukarkan dengan rempah-rempah. Namun dalam perdagangan tersebut, Belanda hendak memonopoli.
Hubungan antara Banten dan VOC yang semula baik berubah dengan naiknya Sultan Abdul Fathi Abdul Fattah yang lebih dikenal dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa menjadi raja Banten pada tahun 1651. Ia tidak menyukai Belanda karena dalam pandangannya, Belanda hanya merupakan penghalang perdagangan Banten. Oleh karena itu, ia berusaha menghalang-halangi perdagangan Belanda. Selain itu, orang-orang Banten juga diperintahkannya untuk melakukan serangan-serangan gerilya terhadap kedudukan Belanda di Batavia (Jakarta), baik melalui darat maupun laut.
Pada tahun 1656, dua kapal kompeni dirampas oleh Banten dan perkebunan tebu milik kongsi dagang itu dirusak. Sultan Ageng Tirtayasa tidak bersedia menemui utusan VOC sehingga orang-orang Belanda yang berada di Banten merasa tidak aman dan secara diam-diam mereka meninggalkan Banten. Setelah itu, VOC memblokir pelabuhan Banten sehingga merugikan perdagangan kerajaan Banten. Sehingga dengan terpaksa, Sultan Ageng Tirtayasa mendekati Belanda untuk mengadakan perundingan. Perundingan itu berlangsung sangat ketat karena Belanda tetap mempertahankan keinginan perdagangan monopoli di Maluku dan Malaka yang sulit diterima oleh Banten. Akhirnya disepakati bahwa Belanda tetap mengadakan perdagangan dengan Maluku dan membayar ganti rugi kepada Banten.
Di sisi lain, Sultan Ageng Tirtayasa berhasil menjalin hubungan dagang dan kerjasama dengan pedagang-pedagang Eropa (bukan Belanda), pedagang-pedagang Inggris dan pedagang-pedagang Denmark.
Francois Caron, seorang utusan raja Prancis Louis XIV meminta izin untuk mendirikan loji di Banten. Kemudian Sultan Ageng Tirtayasa menanyakan tujuan kongsi dagang mereka, kemana tujuan kapal-kapal mereka, barang dagangan yang diinginkan, dan jumlah uang tunai yang mereka miliki. Setelah itu, pihak Prancis menjual barang dagangan mereka. Kemudian, Caron kembali mengunjungi Sultan Ageng Tirtayasa dan memberinya berbagai hadiah.
Hubungan baik antara Prancis dan Sultan Ageng Tirtayasa mulai mencemaskan pihak Belanda. Mereka khawatir jika kerjasama antara Prancis dan Sultan Ageng Tirtayasa akan di tujukan ke Batavia. Berkat taktik VOC, pada tahun 1676, Banten mulai goyah. Dengan politik adu domba, Sultan Haji, putera Sultan Ageng Tirtayasa, berhasil dipengaruhi sehingga memusuhi ayahnya. Akibatnya, terjadi perselisihan antara Sultan Haji dan Sultan Ageng Tirtayasa. Masyarakat pun terbagi menjadi dua, sebagian tetap setia kepada Sultan Ageng Tirtayasa, sedangkan yang lain berpihak ke Sultan Haji.
Pada tahun 1680, ketegangan dengan Belanda memuncak dengan berakhirnya perang Trunojoyo. Sultan Ageng Tirtayasa harus menghadapi Belanda dan putranya, Sultan Haji. Pada tanggal 27 Februari 1682, perang antara Sultan Ageng Tirtayasa dengan Belanda dan Sultan Haji pecah dan pasukan Sultan Ageng Tirtayasa berhasil merebut istana Sultan Haji di Surosowan (Banten). Dengan bantuan Belanda, Sultan Haji berhasil mempertahankan diri dengan mengikuti semua syarat yang diajukan Belanda yaitu bahwa semua orang Eropa harus meninggalkan Banten. Pada bulan Agustus 1682, Sultan Haji menandatangani perjanjian yang mengakui kekuasaan Belanda.
Semakin lama, Sultan Ageng Tirtayasa dan kekuatannya semakin lemah, tetapi ia tidak mau menyerah kepada Belanda. Pengikut-pengikutnya yang masih setia melanjutkan perjuangan di daerah pedalaman.
Pada tahun 1683, Sultan Ageng Tirtayasa tertangkap dan dipenjara di Batavia. Kemudian ia meninggal di dalam penjara tersebut dan dimakamkan di komplek pemakaman raja-raja Banten di sebelah utara Masjid Agung Banten.



Referensi:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar