Rabu, 31 Desember 2014

Menara Masjid Agung Banten

Menara ini terletak di sebelah timur Masjid Agung Banten dan sudah menjadi ciri khas masjid. Menara ini dibangun pada masa kekuasaan Sultan Haji yaitu tahun 1620 oleh arsitek Belanda, Hendrick Lucasz Cardeel, dari batu bata dengan ketinggian sekitar 24 meter dan diameter bagian bawah menara ini sekitar 10 meter.
Untuk sampai di atas menara ini, harus menaiki 83 buah anak tangga dan melewati lorong yang hanya dapat dilewati oleh satu orang. Dari atas menara dapat terlihat pemandangan di sekitar masjid dan perairan lepas pantai, karena jarak antara menara dengan laut hanya sekitar 1,5 km.
Dahulu, menara ini digunakan sebagai tempat mengumandangkan adzan dan mengawasi perairan laut. Selain itu, menara ini juga digunakan sebagai tempat menyimpan senjata. Sekarang menara ini menjadi simbol kota Banten Lama.



Referensi:

Filosofi Semut

Siapa yang tidak tahu semut? Binatang yang berukuran kecil dan mudah ditemui dimana pun. Semut suka menggerombol di dalam lubang atau berjalan membentuk barisan yang teratur. Jika kita menghalangi jalan yang dilalui oleh semut-semut tersebut, mereka akan mencari jalan yang lain. Mereka akan naik ke atas, mencari celah dari bawah, sampai mengelilingi di sekitar penghalang tersebut untuk mencari jalan yang lain.
Selain itu, semut juga sering bekerjasama untuk membawa makanan yang tidak bisa dibawa sendiri karena ukurannya yang terlalu besar. Mereka membawa makanan tersebut secara bersama-sama dan saling membantu satu sama lain menuju ke tempat untuk disimpannya makanan tersebut.
Ada pelajaran yang dapat diambil dari perilaku semut-semut tersebut. Yang pertama, jika kita mendapat hambatan atau rintangan dalam mencapai sesuatu, kita harus terus berusaha mencari jalan lain. Seperti semut yang selalu mencari jalan lain jika kita menghalangi jalan yang mereka lalui. Karena tidak mungkin hanya ada satu jalan untuk sampai pada tujuan kita.
Yang kedua, kita harus sadar bahwa sebagai makhluk sosial kita tidak dapat hidup sendiri. Dalam kehidupan ini, kita akan selalu membutuhkan orang lain. Seperti semut, yang membutuhkan keberadaan semut-semut yang lain untuk membantu membawa makanan yang tidak dapat mereka bawa sendiri. Oleh karena itu, kita harus menghargai dan menghormati orang lain karena di dunia ini kita tidak dapat hidup sendiri.

Masyarakat Baduy dan Alam

Masyarakat Baduy memiliki kepercayaan bahwa alam adalah salah satu titipan Yang Maha Kuasa, yang harus dijaga dan dilestarikan. Walaupun dalam kehidupannya mereka bergantung pada alam, tetapi mereka sangat menghargai dan mengerti bagaimana cara menjaga dan melestarikan alam. Berikut ini adalah beberapa cara masyarakat Baduy dalam menjaga dan melestarikan alam dalam kehidupannya.
1.      Rumah
Rumah masyarakat Baduy dibuat dengan menggunakan bambu dan kayu. Untuk ikatan penyatunya mereka menggunakan ijuk dan rotan. Dinding rumahnya dibuat dari anyaman bambu, sedangkan untuk lantainya mereka menggunakan kulit luar bambu yang dijajarkan. Untuk atap rumahnya mereka menggunakan daun kelapa dan palem.
Apabila tanahnya tidak rata akan dibiarkan apa adanya, mereka tidak merubah sedikitpun tanah itu. Tetapi tiang rumah mereka yang harus disesuaikan dengan tanah tersebut. Sehingga tiang rumah mereka tidak sama panjang untuk menyesuaikan dengan tanah.
2.      Sungai
Masyarakat Baduy tidak pernah menggunakan shampo, pasta gigi, bahkan sabun ketika mandi. Mereka menggunakan batang pohon honje sebagai sabun, sedangkan untuk sikat gigi mereka menggunakan serabut kelapa. Mereka juga tidak menggunakan detergen untuk mencuci baju, hanya dengan digosok-gosokkan pada batu-batu di sungai. Karena menurut mereka penggunaan sabun atau detergen akan membuat air menjadi tercemar. Mereka hanya menggunakan abu gosok untuk mencuci alat-alat rumah tangga seperti piring dan sendok. Karena abu gosok berasal dari sisa pembakaran tumbuhan dan dipercaya tidak akan merusak alam.
3.      Kayu Bakar
Masyarakat Baduy tidak pernah menebang pohon untuk digunakan sebagai kayu bakar. Kayu bakar yang mereka gunakan untuk memasak adalah kayu-kayu yang sudah kering dan jatuh ke tanah, atau kayu-kayu yang sudah dimakan rayap.   
4.      Cara Berladang
Tidak hanya dalam membuat rumah, dalam bidang pertanian pun masyarakat Baduy tidak mengubah lahan dan cara berladangnya sangat sederhana. Mereka tidak mengolah lahan dengan bajak, tidak membuat terasering, hanya menanam dengan tugal (bambu yang diruncingkan).
5.      Hemat Energi
Masyarakat Baduy tidak menggunakan listrik. Untuk penerangan, mereka menggunakan obor. Penggunaan alat penerangan juga dibatasi hanya sampai jam 10 malam, kecuali jika ada keperluan yang mendesak seperti buang air.
6.      Jalan Kaki
Masyarakat Baduy tidak mengenal alat transportasi, karena menggunakan alat transportasi berarti melanggar aturan adat. Oleh karena itu, jika mereka ingin bepergian sejauh apapun akan dilakukan dengan berjalan kaki dan tanpa menggunakan alas kaki, walaupun membutuhkan waktu berhari-hari untuk sampai di tempat yang ingin mereka datangi.

Sabtu, 27 Desember 2014

Meriam Ki Amuk Banten

Meriam Ki Amuk merupakan salah satu benda (senjata) peninggalan kesultanan Banten yang masih utuh. Ada yang mengatakan bahwa Meriam Ki Amuk adalah hadiah dari Belanda, tetapi ada juga yang mengatakan hasil rampasan perang dari Belanda. Meriam ini sangat membantu kesultanan Banten dalam berperang melawan penjajah. Jarak tembaknya yang jauh dan suaranya yang menggelegar menjadikan meriam ini sebagai senjata yang paling ditakuti oleh musuh-musuh. Karena itulah meriam ini disebut dengan Meriam Ki Amuk.
Awalnya, Meriam Ki Amuk diletakkan di pelabuhan karangantu. Tetapi karena banyak warga setempat yang beranggapan bahwa meriam tersebut mempunyai kekuatan gaib dan mereka melakukan kegiatan seperti melempar koin atau memeluk moncongnya yang diyakini jika pergelangan tangan mereka bisa bertemu maka mereka akan kaya, kemudian meriam itu dipindahkan ke Banten Lama, tepatnya di depan museum.
Meriam Ki Amuk terbuat dari tembaga dengan panjang sekitar 2,5 meter. Pada meriam tersebut terdapat tiga buah prasasti yang berbentuk lingkaran dengan huruf dan bahasa Arab.



Referensi:

Keraton Surosowan Banten

Keraton Surosowan adalah tempat kediaman sultan Banten. Keraton ini dikelilingi oleh tembok perbentengan setinggi 2 meter yang luasnya sekitar 4 hektar. Keadaan keraton ini sekarang sudah hancur, yang masih nampak hanya sisa bangunannya saja yang berupa pondasi-pondasi serta tembok-tembok yang sudah rusak.
Keraton Surosowan ini dibangun pada tahun 1552 oleh raja Banten pertama, yaitu Maulana Hasanuddin (1526-1570). Sedangkan tembok benteng yang disusun dari batu bata dan batu karang dibangun oleh raja Banten kedua, yaitu Maulana Yusuf (1570-1580). Pada masa pemerintahan Sultan Haji (1672-1687), benteng tersebut kemudian dirubah bentuknya dan ditambah dengan tembok batu karang di bagian luarnya oleh seorang arsitek Belanda yang memeluk Islam dan diberi gelar Pangeran Wirguna, Hendrik Lucasz Cardeel, sehingga benteng tersebut nampak lebih kuat dan kekar.
Keraton Surosowan ini telah mengalami penghancuran berkali-kali. Kehancuran total yang pertama kali terjadi pada tahun 1680, yaitu ketika perang saudara antara Sultan Ageng Tirtayasa dengan pihak VOC yang dibantu oleh putra mahkota Sultan Haji. Akibat perang ini, Keraton Surosowan dihancurkan oleh Sultan Ageng Tirtayasa.
Setelah Sultan Haji dinobatkan menjadi raja Banten menggantikan ayahnya, ia meminta bantuan Hendrik Lucasz Cardeel, untuk membangun kembali keraton tersebut. Cardeel meratakan dan kemudian membangunnya kembali di atas puing-puing reruntuhan keraton.
Kehancuran keduakalinya dan merupakan yang terparah terjadi pada tahun 1813, yaitu ketika Gubernur Jendral Belanda, Herman Daendels, memerintahkan penghancuran keraton tersebut karena Sultan Banten yang terakhir, Sultan Rafiuddin, tidak mau tunduk kepada Belanda. Akibat penghancuran ini, bangunan keraton tersebut tidak tersisa sedikitpun. Kemudian keraton tersebut ditinggalkan oleh para penghuninya.
Keraton Surusowan memiliki tiga pintu gerbang yang terletak di sisi timur, utara, dan selatan. Tetapi, pintu gerbang yang terletak di sisi selatan telah ditutup dengan tembok dan belum diketahui sebabnya.
Pada bagian tengah keraton tersebut terdapat sebuah kolam bekas “pemandian sultan” dan beberapa kolam lainnya yang dinamai rara denok dan pancuran mas, yang airnya dialirkan dari Tasikardi, danau buatan yang terdapat di sebelah selatan Keraton Surosowan, yang sekarang berisi air berwarna hijau, dan sudah dipenuhi ganggang dan lumut.



Referensi: