Ronggowarsito adalah
seorang filsuf Nusantara khususnya Jawa, yang paling besar, terkenal, dan
berpengaruh cukup luas serta banyak dipelajari dan diminati oleh sarjana atau
ilmuwan dari dalam maupun luar negeri. Dalam tradisi kepustakaan Jawa,
Ronggowarsito dianggap sebagai pujangga penutup atau pujangga terakhir karena
setelah kematiannya tidak ada lagi seorang pujangga. Meskipun sekarang banyak
orang yang menulis karya-karya berbahasa Jawa, mereka tidak dianggap sebagai pujangga
tetapi hanyalah penulis. Bahkan Presiden Soekarno pun menyebut Ronggowarsito
sebagai “Pujangga Rakyat”.
Nama lengkap
Ronggowarsito adalah Raden Ngabehi Ronggowarsito. Ia lahir pada tanggal 15
Maret 1802, dengan nama Raden Bagus Burhan. Nama Raden Ngabehi Ronggowarsito
adalah nama ketika ia menjadi pujangga keraton. Ayahnya bernama R. T. Sartono
Goroputra, putra dari Raden Ngabehi Yosodipuro II. Ronggowarsito sudah mengenal
sastra-sastra Jawa sejak kecil karena ia diasuh oleh kakeknya. Selain cucu dari
Yosodipuro II, ia juga cucu buyut dari Yosodipuro I. Yosodipuro I, Yosodipuro
II, dan Ronggowarsito adalah pujangga istana Surakarta.
Ronggowarsito banyak
mengembara untuk mencari ilmu. Ia menjadi santri di Pondok Pesantren Tegal Sari
Ponorogo. Setelah itu, ia mencari ilmu ke pulau Jawa bahkan sampai ke India dan
Thailand. Setelah kakeknya meninggal, kemudian ia diangkat menjadi pujangga
keraton untuk menggantikan kakeknya, dan dari sinilah karirnya sebagai pujangga
keraton dimulai.
Ronggowarsito mempunyai
murid-murid orang asing seperti C. F. Winter, J. F. C. Grricke, dan Dr. Falmer
Van Den Broug. Mereka belajar banyak tentang bahasa dan kesusastraan Jawa,
Ronggowarsito juga banyak belajar tentang kesusastraan Barat dari mereka.
Ronggowarsito meninggal
pada tanggal 24 Desember tahun 1873 dalam usia 71 tahun. Ia mengalami
penderitaan batin karena kurang diperhatikan oleh pihak istana. Ronggowarsito
dimakamkan di Desa Palar, Kecamatan Trucuk, Kabupaten Klaten. Delapan hari
sebelum kematiannya, Ronggowarsito membuat karangan Sabda Jati yang berisi
ramalan kematiannya delapan hari lagi di akhir bait. Bait terakhir Sabda Jati
tersebut adalah sebagai berikut:
Pandulune
Ki Pujangga durung kemput
Mulur
lir benang tinarik
Nanging
kaseranging ngumur
Andungkap
kasidan jati
Mulih
mring jatining enggon
Terjemahannya:
Sayang sekali “penglihatan” Sang
Pujangga belum sampai selesai, bagaikan menarik benang dari ikatannya. Namun
karena umur sudah tua sudah merasa hampir datang saatnya meninggalkan dunia yang
fana ini.
Amung
kurang wolung ari kang kadulu
Tamating
pati patitis
Wus
katon neng lokil makpul
Angumpul
ing madya ari
Amerengi
Sri Budha Pon
Terjemahannya:
Yang terlihat hanya kurang 8 hari lagi,
sudah sampai waktunya, kembali menghadap Tuhannya. Tepatnya pada hari Rabu Pon.
Tanggal
kaping lima antarane luhur
Selaning
tahun Jimakir
Taluhu
marjayeng janggur
Sengara
winduning pati
Netepi
ngumpul sak enggon
Terjemahannya:
Tanggal 5 bulan Sela (Dulkangidah) tahun
Jimakir Wuku Tolu, Windu Sengara (atau tanggal 24 Desember 1873) kira-kira
waktu Lohor, itulah saat yang ditentukan sang Pujangga kembali menghadap Tuhan.
Tertulis hari Rebo tanggal dua puluh
delapan, sawal tahun Djimakir, angka tahunnja terhitung, Bersembah-pamit mati
pudjangga Radja (sangkalan jang bermaksud: tahun 1802 Djawa) ki pudjangga pamit
mati.
Dan
sesuai ramalannya, Ronggowarsito meninggal delapan hari kemudian. Tetapi ada
yang berpendapat bahwa ia mengetahui hari kematiannya karena ia dihukum mati
akibat permasalahannya dengan pihak istana dan pihak Belanda.
Selama hidupnya,
Ronggowarsito membuat banyak karya-karya. Karya-karya Ronggowarsito tidak hanya
bersifat kesusastraan, tetapi juga mengandung filsafat, hukum, ekonomi,
sejarah, kemasyarakatan, dongeng-dongeng, dan sebagainya. Karena itu, Ronggowarsito
bukan hanya seorang pujangga, tetapi juga seorang filsuf. Karya-karyanya yang
mengandung filsafat menjadi pegangan hidup masyarakat di Jawa, bahkan sampai
saat ini.
Karya-karya
Ronggowarsito mempunyai tema yang bermacam-macam, salah satunya tentang
filsafat sejarah. Selama ini jika kita mencari pengetahuan tentang filsafat,
pasti yang muncul adalah filsuf-filsuf atau ilmuwan yang berasal dari Barat.
Padahal kita mempunyai filsuf dari negeri kita sendiri, seperti Ronggowarsito.
Serat Paramayoga, Serat
Pustakaraja Purwa, Serat Sabda Jati, Serat Sabdatama, Serat Jaka Lodhang, Serat
Wedharaga, dan Serat Kalatida merupakan karya-karya Ronggowarsito yang membahas
tantang filsafat sejarah. Selain itu, ia juga membuat tulisan ramalan-ramalan
sejarah. Kebanyakan penulis Jawa jika membuat tulisan sejarah, mereka juga
membuat prediksi. Sejarah bukan hanya dilihat dari masa lalu, tetapi juga masa
depan. Karena itulah banyak kalangan yang menganggap Ronggowarsito sebagai
seorang futurolog.
Referensi:
Jurnal filsafat, April 2004, Jilid 36,
Nomor 1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar