Sabtu, 20 Desember 2014

Suku Baduy

Suku Baduy adalah salah satu suku asli Banten, tepatnya di kaki pegunungan Kendeng di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, yaitu sekitar 40 km dari kota Rangkasbitung.
Wilayah suku Baduy terdiri dari dua daerah, yaitu suku Baduy Dalam, yang tinggal di kampung Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik, dan suku Baduy Luar, yang tinggal di berbagai kampung yang tersebar mengelilingi Baduy Dalam seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya.
1.      Suku Baduy Dalam
Suku Baduy Dalam merupakan suku Baduy yang benar-benar masih menjaga pikukuhnya, terletak di hutan pedalaman dan belum mengenal budaya luar. Mereka sangat taat mempertahankan adat istiadat dan warisan nenek moyangnya. Pakaian suku Baduy Dalam berwarna putih alami dan tidak menggunakan kancing atau kerah, dengan ikat kepala berwarna putih serta membawa golok. Semua yang dipakai oleh suku Baduy Dalam adalah hasil produksi mereka sendiri, yang dibuat oleh para perempuan. Jika bepergian, mereka tidak menggunakan kendaraan dan tidak memakai alas kaki.
Selain itu, suku Baduy Dalam juga tidak mengenal perkakas seperti palu, paku, gergaji, dan lain-lain. Untuk membuat rumah, mereka menggunakan alat-alat dan bahan-bahan tradisional yang diambil dari hutan dan dikerjakan dengan gotong royong.
Suku Baduy Dalam tidak mengenal baca tulis, mereka hanya mengenal aksara sunda. Anak-anak suku Baduy Dalam juga tidak bersekolah, kegiatan mereka hanya di sawah dan di kebun. Menurut mereka, itu adalah cara melestarikan adat leluhurnya.
Sungai menjadi sumber kehidupan sehari-hari mereka dari mulai mandi, mencuci, semuanya dilakukan di sungai.
Karena belum mengenal budaya luar dan masih memiliki budaya yang sangat asli, suku Baduy Dalam tidak mengizinkan orang luar tinggal bersama mereka. Mereka bahkan menolak Warga Negara Asing (WNA) untuk masuk.   
2.      Suku Baduy Luar
Suku Baduy Luar merupakan suku Baduy yang telah keluar dari adat dan wilayah Baduy Dalam. Mereka telah mengenal teknologi, seperti peralatan elektronik, meskipun penggunaannya tetap merupakan larangan untuk masyarakat Baduy, termasuk Baduy Luar. Selain itu, proses pembangunan rumah penduduk Baduy Luar sudah menggunakan alat-alat perkakas seperti palu, paku, gergaji, dan lain-lain yang dilarang oleh adat Baduy Dalam.
Suku Baduy Luar menggunakan pakaian dan ikat kepala berwarna hitam, itu menandakan bahwa mereka tidak suci. Kadang-kadang mereka menggunakan pakaian modern seperti kaos oblong dan celana jeans.
Bahasa yang digunakan oleh suku Baduy adalah Bahasa Sunda. Untuk berkomunikasi dengan penduduk luar, mereka bisa menggunakan Bahasa Indonesia walaupun mereka tidak mendapatkan pengetahuan tersebut dari sekolah.
Kepercayaan mereka disebut sebagai Sunda Wiwitan, berakar dari pemujaan kepada arwah nenek moyang (animisme) yang kemudian dipengaruhi oleh agama Budha, Hindu, dan Islam. Inti kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari. Isi terpenting dari ‘pikukuh’ (kepatuhan) tersebut adalah konsep “tanpa perubahan apapun” atau “perubahan sesedikit mungkin”.
Di bidang pertanian, bentuk pikukuh tersebut adalah dengan tidak mengubah kontur lahan bagi ladang, sehingga cara berladangnya sangat sederhana, tidak mengolah lahan dengan bajak, tidak membuat terasering, hanya menanam dengan tugal (bambu yang diruncingkan). Pada pembangunan rumah juga kontur permukaan tanah dibiarkan apa adanya, sehingga tiang penyangga rumah seringkali tidak sama panjang. Perkataan dan tindakan mereka jujur, polos, tanpa basa-basi, bahkan dalam berdagang pun mereka tidak melakukan tawar-menawar.
Objek kepercayaan terpenting adalah Arca Domas, yang lokasinya dirahasiakan dan dianggap paling sakral. Mereka mengunjungi lokasi tersebut untuk melakukan pemujaan setahun sekali. Hanya puun yang merupakan ketua adat tertinggi dan beberapa anggota masyarakat terpilih saja yang mengikuti rombongan pemujaan tersebut. Di komplek Arca Domas tersebut terdapat batu lumpang yang menyimpan air hujan. Apabila pada saat pemujaan ditemukan batu lumpang tersebut ada dalam keadaan penuh air yang jernih, maka itu merupakan pertanda bahwa hujan pada tahun tersebut akan banyak turun, dan panen akan berhasil baik. Tetapi apabila batu lumpang tersebut kering atau berair keruh, maka itu merupakan pertanda kegagalan panen.
Masyarakat Baduy mengenal dua sistem pemerintahan, yaitu sistem nasional, yang mengikuti aturan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan sistem adat yang mengikuti adat istiadat yang dipercaya masyarakat. Kedua sistem tersebut digabung sehingga tidak terjadi perbenturan. Secara nasional, masyarakat Baduy dipimpin oleh kepala desa yang disebut sebagai jaro pamarentah.
Pemimpin adat tertinggi dalam masyarakat Baduy adalah “puun”. Jabatan tersebut berlangsung turun-temurun, namun tidak otomatis dari bapak ke anak, melainkan dapat juga kerabat lainnya. Jangka waktu jabatan puun tidak ditentukan, hanya berdasarkan pada kemampuan seseorang memegang jabatan tersebut.
Mata pencaharian utama masyarakat Baduy adalah bertani padi huma. Selain itu, mereka juga mendapatkan penghasilan tambahan dari menjual buah-buahan yang mereka dapatkan di hutan seperti durian dan asam keranji, serta madu hutan.
Sebagai tanda kepatuhan/pengakuan kepada penguasa, masyarakat Baduy secara rutin melaksanakan seba ke Kesultanan Banten, berupa menghantar hasil bumi (padi, palawija, buah-buahan) kepada Gubernur Banten. Sampai sekarang, upacara seba tersebut terus dilangsungkan setahun sekali melalui bupati Kabupaten Lebak. Di bidang pertanian, penduduk Baduy Luar berinteraksi erat dengan masyarakat luar, misalnya dalam sewa menyewa tanah, dan tenaga buruh.
Pada saat pekerjaan di ladang tidak terlalu banyak, orang Baduy juga senang berkelana ke kota besar sekitar wilayah mereka dengan syarat harus berjalan kaki. Pada umumnya mereka pergi dalam rombongan kecil yang terdiri dari 3 sampai 5 orang, berkunjung ke rumah kenalan yang pernah datang ke Baduy sambil menjual madu dan hasil kerajinan tangan.



Referensi:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar